Satria Slytheryn

Satria Slytheryn Game Blog | Created By Www.BestTheme.Net

Popular Posts

Righteous Kill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Quisque sed felis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Etiam augue pede, molestie eget.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Hellgate is back

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit ...

Post with links

This is the web2feel wordpress theme demo site. You have come here from our home page. Explore the Theme preview and inorder to RETURN to the web2feel home page CLICK ...

Selasa, 30 November 2010

Melihat Pendidikan di Luar Kotak

Ketika melihat film 3 Idiots untuk pertama kalinya, saya lalu terhenyak, ternyata saya bukan satu-satunya orang yang sering dipandang berpikiran aneh di dunia ini! Dan kebetulan, film ini menyajikan beberapa hal yang begitu serupa dengan apa yang saya yakini.

Misalnya saja tentang aturan yang harus diikuti dalam hidup. Di dalam film, tokoh utama bernama Rancho memang kerap melakukan sesuatu yang mendobrak aturan umum. Tokoh utama yang berkarakter memesona saya itu pun seketika langsung mengingatkan saya pada proses psikotest yang baru saja saya ikuti.

“Kamu ini kecenderungan minus sekali untuk ikut aturan. Tapi kalau urusan mobile, yang bergerak, kamu plusnya banyak sekali,” ujar asesor yang mengetes saya dengan wajah seperti orang yang keheranan.

Dari hasil wawancara yang mengcross-check tentang hasil tes kepribadian kita jika dibandingkan dengan tuntutan dalam dunia kerja, saya memang dinyatakan sebagai orang yang suka mobilitas. Beberapa pernyataan yang saya pilih memang cenderung sebagai karakter pemberontak, lebih suka membuat aturan baru, menentang hal yang sifatnya konvensional, atau lebih suka berjalan-jalan ke pedalaman.

Hal itu pun terkuak ketika saya dengan jujur dan lugasnya mengatakan tidak suka sama sekali dengan urusan mengerjakan segala yang berbau administrasi pendidikan. “Saya memang dari dulu sejak PPL kurang suka mengerjakan hal-hal seperti itu, Bu,” aku saya sambil mengingat betapa muaknya sesi PPL yang sejak zaman kuliah membuat saya akhirnya memutuskan untuk tidak menjadi guru.

“Bahkan kalau bisa, guru itu sebaiknya ada asistennya yang khusus mengerjakan itu, Bu. Jadi tugas guru untuk mengajar bisa optimal menuangkan kreativitasnya,” demikian ide gila saya.

Mendengar penjelasan saya itu, makin frustasilah si ibu asesor. Dengan tegas, ia patahkan argumen saya. Misalnya saja tentang sekolah negeri yang menurut saya begitu banyak aturan dan tuntutan di urusan administrasi, sehingga saya mengaku untuk lebih senang bekerja di sekolah swasta.

“Siapa bilang. Kalaupun kamu mengajar di sekolah swasta, tetap saja urusan seperti itu harus ada,” tegas si ibu asesor yang membuat saya tersenyum kecut.

Dan pada akhirnya, saya hanya mengiyakan apa yang ia katakan meski dalam hati saya masih dengan keras kepalanya tidak sepakat dengan tugas guru yang begitu banyaknya beramah taman dengan urusan administrasi dari pada urusan mengajar.


Berpikir di luar kotak, berpikir yang tidak biasa, memang sering bersarang dalam benak saya hingga saya sering dipandang aneh dan pemberontak oleh kebanyakan teman-teman saya. Dan, inilah beberapa hal yang memang kerap mengusik benak saya tentang fenomena dunia pendidikan ataupun hal umum yang terjadi pada masyarakat Indonesia.

* Lupakan Kompetisi
Di bagian-bagian awal dari film ini, terlihat bagaimana sahabat dari tokoh bernama Rancho yang terheran-heran dengan ulah sahabatnya itu, yang tidak tertarik dengan kompetisi. Sementara dosennya yang kerap dijuluki dengan Virus memaparkan tentang bagaimana hidup itu harus dilalui dengan kompetisi, Rancho malah menampakkan wajah menertawakan.

Yang ada dalam pikiran Rancho, ia hanya ingin hidup sebagai orang yang bisa berguna bagi orang lain, dan menekuni sesuatu sebagai apa yang menjadi kesukaannya. Bukan atas dasar ingin menjadi yang pertama atau yang dipandang.

Dan uniknya, yang terjadi dalam film ini di kemudian cerita, justru Rancho yang tidak memiliki minat untuk ikut-ikutan dalam kompetisi menjadi yang terbaik dan tampil menjadi mahasiswa paling berprestasi.

Saya sendiri, seumur-umur saat saya menempuh pendidikan formal, jujur, saya memang kerap ikut serta dalam ajang keinginan untuk menjadi yang terbaik. Ini menjadi pola yang sudah ditanamkan oleh orangtua saya sejak saya SD.

Namun keanehan, jika bisa disebut demikian, mulai menjangkiti pemikiran saya ketika saya duduk di bangku kuliah. Ketika teman-teman saya berjuang dalam pergulatan materi demi materi kuliah demi mengejar indeks prestasi kumulatif alias IPK yang jika bisa berangka fantastis, saya justru mengasyikkan diri dengan organisasi kepenulisan di kampus. Meskipun pada akhirnya, di akhir-akhir masa-masa kuliah, saya mulai mengejar angka di atas tiga koma demi sesuatu yang konon bisa menjanjikan di masa depan, dan akan mengancam eksistensi masa depan saya jika saya ber-IPK di bawah tiga koma!

Gelagat tidak memandang kompetisi kembali muncul dalam diri saya ketika saya bekerja menjadi reporter. Awalnya, seperti kebanyakan teman-teman saya, saya ikut mengejar angka catatan prestasi jumlah berita yang sudah dibuat setiap bulannya.

Hingga suatu ketika, sebuah fakta mencuat dalam pengetahuan saya. Berita-berita yang saya buat dengan proses yang tidak asal, tidak mengingat waktu bahkan resiko, banyaknya jumlah berita yang selalu saya kejar, ternyata tidak memengaruhi kebijakan kantor dalam nominal gaji yang saya dapatkan. Malahan, gaji saya bisa berselisih lebih rendah jika dibandingkan teman-teman lain yang ketika mengerjakan berita prosesnya biasa-biasa saja.

Maka sejak itulah, saya jadi tidak tertarik untuk mengejar kepuasan yang didapat atas dasar nilai wah yang dipandang secara umum. Apakah gaji saya tetap lebih rendah meski saya bekerja dengan proses mati-matian, atau apakah saya dipandang sebagai reporter biasa yang kurang berprestasi dan tidak dielu-elukan, saya tidak ambil pusing. Saya tetap gila kerja, do the best, dan cukup memiliki kepuasan-kepuasan sendiri ketika tolak ukur a la saya saat proses meliput bisa saya dapatkan.

Pun ketika banyak orang di kantor saya saat itu beramai-ramai mengikuti PNS. Saya hanya dengan santainya bekerja seperti biasa, tidak berminat untuk mengikuti PNS, bahkan mengungkapkan untuk tidak ingin keluar dari kantor. Sementara itu, banyak dari teman saya yang sudah kasak kusuk ingin keluar karena tidak puas ini itu, saya masih saja tetap tenang dan tidak ambil pusing.

Bahkan hingga sekarang, niat mengikuti PNS yang hingga dipandang memiliki status istimewa di masyarakat, rasanya tipis ada dalam pikiran saya. Seumur-umur, saya memang hanya pernah dan akan mencoba mengikuti PNS, selalu demi karena orang lain. Itu pun dengan doa, semoga saya tidak diterima karena jika iya, itu berarti saya harus bekerja dengan orang-orang yang berlaku secara konvensional, asal, atau kalaupun menentang aturan, itu demi keuntungan dirinya sendiri!

* Tehnik Menghapal yang Membuat Saya Gagal
Ini hal lain yang saya temukan di film 3 Idiots, yaitu tentang gagasan ketidaksetujuan atas metode menghapal yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan di India. Nyatanya, model seperti itu pun kerap ada di dunia pendidikan di Indonesia.

Saya sendiri termasuk satu dari sekian korban tentang keharusan memiliki kemampuan menghapal di dalam dunia pendidikan Indonesia. Hal yang saya ingat dengan sangat adalah tentang gagalnya saya masuk ke dalam jurusan IPA karena nilai saya yang sering jeblok atau pas-pasan. Semua bermuasal dari kapasitas saya yang memang tidak memiliki kemampuan bagus dalam hal menghapal rumus.

Metode menghapal memang melemahkan hasil nilai saya untuk urusan pelajaran sains. Saya yang tergila-gila dengan Fisika sejak di kelas 1 SMA, akhirnya harus kerap mendapat hadiah nilai 6 di rapot karena guru Fisika favorit saya tidak bisa mendobrak sistem pengolahan nilai. Sementara jika andai saja beliau sangat taat azas dengan urusan hanya menilai siswa dengan mengolah nilai yang ada, saya yakin, saya bisa lebih parah dari angka 6 untuk nilai Fisika yang terpajang di raport saya.

Guru Fisika yang kerap mengajak muridnya untuk berpikir secara nalar dan faktual meski berdasarkan rumus itu memang sangat tahu sekali jika saya sangat menyukai Fisika. Dalam sesi mengerjakan latihan soal, saya memang kerap mengacungkan jari untuk menjawab karena saya sudah memiliki jawaban-jawabannya dari hasil mengutak-atik yang sering saya lakukan tanpa kenal waktu saat di rumah.

Kerap hingga malam atau bahkan dini hari, saya begitu hobi mengutak atik rumus, mengombinasikan satu dengan yang lain, demi memecahkan soal cerita yang ada. Rasanya begitu mengasyikkan, seperti asyiknya bermain sebuah games.

Nyatanya, saya yang kerap bisa menjawab pertanyaan dibandingkan dengan teman-teman saya di kelas, harus menerima kekalahan di nilai angka ujian. Saya yang lemah menghapal, dan tidak mau ikut-ikutan aksi mencotek rumus saat ulangan, kerap harus menerima melihat angka 6 di raport untuk urusan nilai Fisika, mata pelajaran yang sangat saya cinta!

Hingga akhirnya ketika saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk bisa menjadi dosen, saya manfaatkan kesempatan itu untuk tidak menekan mahasiswa saya agar mereka harus bisa karena menghapal.

“Toh nanti jika kalian kerja, apa kalian harus diminta menghapal dan tidak boleh melihat catatan tentang apa yang seharusnya? Nggak kan? Kalian diminta untuk memahami, menganalisis, bukan menghapal!” demikian yang saya tekankan.

Akhirnya ketika ujian, saya sering meminta mahasiswa saya untuk membuka buku ketika mengerjakan. Sayang, berkali-kali saya meminta mereka untuk paham dan bukan menghapal, telah begitu sulit mereka mengerti hanya karena pola menghapal yang sudah menjajah sejak mereka SD dan benar-benar telah mencengkeram otak mereka. Jawaban-jawaban ujian yang tidak ada di buku atau catatan, soal-soal yang bersifat menelaah atau analisis, tidak mereka kerjakan dengan baik hanya karena mereka merasa, “Ah, toh ujian nanti open book, jadi bisa lihat jawabannya di catatan.” Sebuah pemahaman yang salah besar!

* Masa Emas Ada pada Proses
Apa yang membuat seseorang mendapatkan hasil yang kurang baik, rata-rata dikarenakan mereka hanya melihat hasil, atau terjebak pada sistem yang tidak menghargai proses. Tokoh Rancho di film 3 Idiots lah yang menguak hal itu dan menyampaikannya kepada dosen maupun teman-temannya.

Di Indonesia sendiri, kasus kurang menghargai proses dan hanya menentukan nasib seseorang dari hasil sebuah tahap akhir bisa dilihat dari ujian nasional. Banyak siswa jadi frustasi dalam memersiapkan ujian, hingga akhirnya para guru pun tidak sedikit yang terjebak pada praktek kecurangan demi menyelamatkan anak didiknya, nama baik guru, juga sekolahnya!

Ketika saya menjadi dosen, fakta itu pun sering merepotkan saya karena adanya beberapa mahasiswa yang lucunya sering menuntut atau memertanyakan ke saya mengapa mereka tidak mendapat nilai A. Padahal, mereka-mereka yang memertanyakan hal itu adalah sosok yang berkarakter kerap seenaknya ketika kuliah!

Akhirnya agar saya tidak lagi menghadapi hal tersebut, keleluasaan proses penilaian yang lebih banyak diserahkan kepada para dosen membuat saya mencoba membuat sistem yang memungkinkan mahasiswa berkonsentrasi pada proses untuk mendapatkan hasil. Bukan melihat hasil lalu mengabaikan proses.

Caranya, di setiap tahap selama proses perkuliahan, saya akan memberikan peluang pada mereka untuk memerbaiki tugas maupun ujiannya demi mencantumkan nilai yang pantas atas hasil yang juga pantas telah mereka lakukan. Yah, meskipun akhirnya saya jadi dosen yang kerap dibuat sibuk dengan urusan mengoreksi perbaikan-perbaikan mereka, tapi itulah penghargaan yang saya berikan kepada mereka yang memang juga mau berlelah payah demi hasil akhir mereka sendiri.

Namun, saya tidak bisa melaksanakan gagasan tokoh Rancho di film 3 Idiots yang kurang sependapat dengan sistem penilaian didasarkan pada rangking atau angka. Tapi karena saya pun ada dalam sebuah sistem, dan ada dalam lingkungan orang-orang berpemikiran hasil dan harus saya olah proses belajarnya, mau tak mau urusan angka, rangking yang identik dengan hasil itu harus saya acuhkan. Tapi saya tetap saya, si keras kepala yang harus bergerak dengan jalan a la saya dengan sefleksibel mungkin berdamai dengan sistem yang ada.

* Menuntut Ilmu untuk Ilmu Itu Sendiri
Hal yang membuat saya tertawa satir adalah ketika tokoh Rancho menertawakan tokoh bernama Sudas yang sekolah hingga tinggi di bidang tehnik, mengejar pendidikan sampai ke luar negeri, mendapatkan hasil yang gemilang, namun hanya untuk balik ke negaranya dan bekerja sebagai karyawan di bank!

Benar-benar saya tergelak oleh cerewetan Rancho kala saya sendiri menyadari apa yang terjadi di Indonesia sendiri adalah seperti itu. Bahkan, saya lah satu dari sekian korban ketidakajegan disiplin ilmu, antara yang saya tekuni ketika kuliah hingga apa yang saya tekuni saat ini.

Saya, sarjana pendidikan di bidang ekonomi, adalah sosok yang sangat lemah di bidang akuntansi, ilmu yang dulu saya pilih dalam jurusan kuliah saya, tapi justru saya lebih gemilang untuk urusan kepenulisan. Bahkan ketika saya masih kuliah, saya sering menantang diskusi di bidang kepenulisan dengan teman-teman saya yang memang kuliah di jurusan itu. Ujung-ujungnya saya sering membuat mereka kelabakan oleh pertanyaan atau pernyataan saya tentang dunia kepenulisan. Mereka yang konsekuen dengan ilmunya, versus saya, si pengkhianat ilmu ekonomi yang jatuh hati dengan dunia kepenulisan.

Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup di masa nanti. Pun, saya sendiri tidak bisa menyalahkan ketidaktahuan saya yang kini lebih memilih dunia kepenulisan dari pada bidang ekonomi. Tapi, ada sebuah lagu di film 3 Idiots yang menginspirasi saya untuk tidak mengulang hal yang sama pada anak-anak saya kelak.

“Give me the sun shine, give me the rain. Give me another chance, because I wanna my childrens grow up with their own choice!”

Semoga ketika nanti Allah memberikan kesempatan kepada saya tentang anak-anak, saya tidak ingin memaksa-maksa mereka harus menjadi apa. Biarlah saya menjadi pengarah atas keputusan mereka hingga mereka menapaki jalan hidup pilihan mereka sendiri sesuai jalurnya. Dan saya tidak ingin menjadi seperti ibu saya yang begitu keukeuh menginginkan saya menjadi PNS, atau ayah saya yang tidak setuju atas pilihan hidup saya sebagai penulis.

* Dalam Ketenangan, Ada Kecerdasan
Saya tergelitik saat ada adegan tentang tokoh Rancho yang ditantang oleh Mr Virus untuk mengajar di depan kelas. Dengan santainya, Rancho memermainkan seluruh kelas termasuk sang dosen untuk mencari arti dari dua buah kata dalam waktu singkat yang sesungguhnya tidak ada sama sekali dalam buku.

Di situ Rancho sebetulnya ingin membuktikan, bahwa belajar di bawah tekanan memang tidak akan membuat seseorang memiliki otak cemerlang untuk berpikir bahkan menemukan hal yang ganjil atas sesuatu yang bisa dipikir secara ringan dengan nalar.

Teori dalam tubuh yang tenang akan memunculkan kecerdasan yang dahsyat ini awalnya saya temui dalam buku quantum learning. Meski belum sepenuhnya paham, saya mencoba mempraktekkannya ketika saya mengajar para mahasiswa saya.

Yah, semoga hingga detik ini tidak ada satu pun anak-anak saya saat itu yang mengatakan kepada rekan dosen di poltek tempat saya dulu mengajar jika saya adalah satu-satunya dosen yang mengizinkan mereka untuk makan, minum, mendengarkan musik, bahkan asyik melihat film pada laptopnya masing-masing.

Saya sendiri tipe orang yang memang suka berkegiatan dengan kondisi multi. Misalnya, makan sambil bekerja, makan sambil membaca buku atau artikel di internet, atau menulis sambil ngemil dan mendengarkan musik, atau sambil melihat televisi.

Ketika saya mengajar, saya pun menemukan beberapa mahasiswa yang memang bisa melakukan hal tersebut dan justru malah memiliki ketertarikan besar dan menunjukkan kecerdasan optimalnya ketika ia dipersilakan untuk melakukan aktivitas lain yang bisa menyenangkan dirinya namun tidak mengganggu orang lain.

Sayangnya, izin yang saya berikan itu kerap disalahgunakan oleh beberapa anak yang tidak tahu akan tanggung jawab. Saya hanya menyerahkan proses pada para pelakunya sendiri. Ketika mereka justru tidak memanfaatkan kesempatan yang saya berikan dengan baik, nilai mereka tidak sebaik teman-temannya yang lain, saya hanya bisa tersenyum. Yang saya sadari dan mereka harus sadar, orang yang tahu tanggung jawab, adalah orang yang tahu konsekuensi atas perbuatan yang sudah ia lakukan. Saat itu saya ingin mereka juga belajar tentang itu.